Pelajaran dari Kisruh Impor Bawang: Quota Impor Sebagai Kebijakan Proteksi Petani
Baru-baru ini netijen dihebohkan oleh berita OTT kasus penyuapan impor bawang putih. Beritagar lumayan detil mendokumentasikan kasus ini, dan setiap reportase mereka menurut saya pribadi sangat menarik untuk dibaca. OTT tersebut berhasil mendapatkan bukti transfer sebesar 2 milyar rupiah dari total deal sebesar “…Rp3,6 miliar dan imbalan komitmen Rp1.700 — Rp1.800 dari setiap kg bawang putih yang diimpor”. Gile ye, 2 milyar kalo dibeliin bubur ayam bisa buat anak cucu tuh!
Tapi cuma impor bawang putih berapaan sih harganya? Emangnya untungnya berapa? Kok bisa suap sampe milyaran dari untung jualan bawang putih?
Bawang putih adalah salah satu dari banyak komoditi yang impornya dibatasi dengan kuota. Jadi impor bole-bole aja, tapi tidak bebas. Tergantung Kemendag dan Kementan yang menunjuk pihak tertentu yang dibolehkan impor, dan bolehnya berapa banyak.
Karena ada hambatan tersebut, jadinya terdapat gap antara harga internasional dengan harga domestik. Data dari UN Comtrade Database menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 2018 mengimpor sebanyak 582,994,508 kg bawang putih (HS 070320), dengan total harga 497,259,293 USD. Artinya, harga per kg nya berkisar 0.853 USD saja. Pake kurs 14,000 aja, berarti sekitar nyaris 12,000 rupiah per kg. Artinya, pengimpor ini membeli bawang putih dari luar negeri dengan harga 12,000 rupiah per kg.
Tentunya itung-itungan ini harus dikritisi karena ini pakai angka tahunan, yang mana bisa saja terjadi fluktuasi bulanan atau harian. tapi kalau untuk ancer-ancer rasanya angka ini cukup, apalagi mengingat bahwa pasar global umumnya cukup fluid. Masalah kesulitan transaksi biasanya datang di proses pengajuan ijin impor di dalam negerinya, yang rantainya cukup panjang dan suka gak pasti ketepatan waktunya. Tabel di bawah ini ngasih perhitungan sederhana yg sedikit lbh lengkap utk tahun 2018,2019 dan 2020. USD dan kg dapat dari UN Comtrade Database sementara nilai tukar dapat dari World Bank.
Tahun | USD | Kg | $\frac{USD}{Kg}$ | $\frac{IDR}{USD}$ | $\frac{IDR}{Kg}$ |
---|---|---|---|---|---|
2018 | 497.259.293 | 582.994.508 | 0,853 | 14.239,939 | 12.146,668 |
2019 | 529.965.497 | 465.344.332 | 1,139 | 14.147,671 | 16.114,197 |
2020 | 585.785.247 | 587.748.401 | 0,997 | 14.582,203 | 14.538,483 |
Berapa harga per kg bawang putih di Indonesia? Kalau kita pake harga yang dipake beritagar di berita ini yaitu 30,000 rupiah per kg, berarti pengimpor bisa untung sampe 18,000 rupiah per kg! Untungnya 150% coy! Karena pada 2018, NKRI mengimpor 582,994,508kg, kalo untungnya bener 18,000 per kg, berarti total untung dari bisnis impor bawang putih adalah 10,493,901,000,000 rupiah saja! Banyak yak 0 nya!
INTERMEZZO: harga 30,000 per kg mungkin agak lebay. Kalo liat di PIHPS, tahun 2018 rata2 harga bawang putih itu sekitar 21,000. Tapi fluktuasi lumayan tinggi, terutama pas lebaran. Masuk akal jika kita pikir importir baru ngelepas bawang ke pasar pas harganya relatif tinggi.
Kita boleh debat sih pas nggak harga 30,000 itu kita pake buat ngitung harga domestik. Intinya, cuma ngasih 3,6 milyar mah geli-geli. Dan impor bawang kayaknya bukannya berkurang tapi bakal naik terus.
UPDATE: tempo udah kasi kalkulasi sesuai kesaksian di link ini. Ternyata untungnya mencapai 19T. Angka 30rebu/kg kekecilan ternyata. Ini ada investigasinya dari Tempo.
Setelah melihat betapa ngeri-nya suap impor bawang, tentu kita jadi bertanya-tanya: Kenapa sih negara ini memberlakukan kuota impor?
Sebenernya, kuota impor adalah bagian dari kebijakan industri suatu negara. Kebijakan industri sendiri dibuat untuk melindungi industri tertentu dari persaingan global. Dalam hal bawang putih, kuota untuk bawang putih ada untuk melindungi petani bawang. Kita impor karena harga internasional lebih murah daripada harga domestik. Harga internasional bisa murah karena petani luar negeri lebih produktif. Karena petani kita nggak bisa bersaing, maka diproteksilah dengan kuota.
Saya bikinin ilustrasi bagaimana kuota memengaruhi permintaan dan penawaran suatu barang di bagian APPENDIX paling bawah yak. Sekrol aja kalo penasaran dan belum tau.
Balik lagi, sebenernya kuota sendiri kurang disukai simply karena yang diuntungkan paling gede adalah importir. Keuntungan importir ini rawan dijadiin bancakan oleh pihak yang punya kewenangan memberikan kuota impor. Selisih harga begini udah sering lah dijadiin ajang korupsi.
Nah, korupsi bikin inefisiensi. Bayangkan, anda importir efisien, merekrut pegawai lulusan poltek app jakarta, eh pas ngajuin lisensi malah kalah dari importir yang lebih jele karena mereka berani bayar. Akhirnya ya daripada main kualitas, mendingan main wani piro. Mirip lah sama korup hambalang. Daripada main kualitas gedung, mending gedungnya jelek aja tapi punya duit buat nyuap.
Ada dua alternatif kebijakan seandainya pun masih tetep mau membatasi impor bawang dan melindungi petani bawang.
Pertama adalah bea impor. Dibanding kuota, bea impor bisa memberikan efek yang sama, tapi yang diuntungkan adalah pemerintah. Misalnya pemerintah memberikan pajak sebesar 18,000 rupiah per kg, maka harga domestik akan jadi 30,000 per kg, sama dengan harga dengan kuota impor sekarang. tapi, keuntungan 10 Trilyun tersebut akan masuk ke kas negara sebagai tax revenue.
Tetapi Indonesia sudah terikat perjanjian dagang, terutama ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement). kita ndak bole ngasih tarif tinggi-tinggi. Justru itu kita pake kuota karena udah tau kita nggak bisa pakai tarif. Aturan mengenai kuota produk hortikultura paling lama yang saya dapatkan adalah tahun 2012. Jadi kita pertama kali bikin kuota produk bawang, sayur dan buah itu ya tahun 2012, 2 tahun setelah ACFTA. Kebetulan?
Yang kedua, teteup pake kuota, tapi proses pemberian lisensi atau ijin impor lebih baik dibuat lebih transparan dan dikompetisikan. Sekarang, sepanjang yang saya ketahui, kriteria sebuah perusahaan diberikan ijin impor bawang agak ndak jelas. Lebih baik jika lisensi impor tersebut dilelang. Yang mau ijin impor, harus bayar ke negara. Yang memberikan bayaran paling tinggi maka dia yang dapat ijin. Kalo kenapa kita tidak menerapkan lelang lisensi, saya sendiri masih belum tau alasannya kenapa.
Intermezzo: Kementan sekarang masang keharusan calon importir untuk menanam sendiri bawang sebanyak 5% dari total impor. Jadi lumayan ada syaratnya. Saya sendiri nggak begitu ngerti kenapa harus begitu.
Tapi argumen membela petani bawang sebenarnya agak gimana gitu ya. Saya pernah diceritain teman saya bahwa petani bawang itu sebenernya dikit banget, nyaris nggak ada. Hal ini senada dengan isi beritagar di atas, yang menyatakan bahwa kata Kemendag, 95% kebutuhan bawang putih kita diimpor. Artinya, bahkan dengan harga 30,000, petani kita cuma nyumbang 5% saja. Bahkan kalo lihat aturan wajib tanam 5%, ya angka 5% itu exactly dari kewajiban tanam, bukan murni organik petani. Jadi, sebenarnya kuota ini melindungi siapa? Dari perspektif kebijakan publik, kuota bawang putih agak sulit saya pahami.
Tapi yaaa namanya bawang putih. Gurih cuy!
APPENDIX di bagian ini saya akan mencoba mengilustrasikan dampak pemberlakuan kuota. Kalo jele jangan dibuli yaaa. moga-moga bermanfaat.
Seandainya kita tidak melakukan impor sama sekali (impor bawang putih, misalnya, DILARANG!!), mungkin bawang akan diproduksi sebanyak $Q^D$, dan harganya, anggap saja 40 ribu per kg. Pada tahapan ini, petani bawang akan berbahagia karena harga bawang per kg sangat tinggi. Tapi konsumen kecele. dan industri yang menggunakan bawang putih akan jadi gak kompetitif. harga indomie akan jadi mahal!! Nah, Apa yang terjadi seandainya kita impor bebas?
Kita tau kalo pengimpor itu beli dari luar negeri dengan harga 12,000 per kg. Kalo impor bebas bas bas, maka harga bawang akan turun jadi 12,000. total bawang di NKRI akan naik dari, tadinya $Q^D$, jadi $Q^T$ (karena murah). Pada harga 12,000, petani jadi males supply banyak-banyak. Mereka akan supply sebesar $Q^{DD}$, dan sebanyak $Q^M$ akan diimpor dari luar negeri. Di sini, importir ndak untung karena harga domestik=harga dunia.
Tapi tentu saja kita gak impor bebas. kita kan bukan liberal, ya gak? Kemendag gak mau kita impor sebanyak $Q^M$. kebanyakan. Impor dibatasi sebanyak $Q^{M}_K<Q^M$. Apa yang terjadi?
karena gak bole impor banyak-banyak, maka supply berkurang. Harga pun terkerek naik ke 30,000. Total bawang putih beredar jadi sebesar $Q^T_K$, lebih rendah dari $Q^T$ tapi lebih tinggi dari $Q^D$. Suplai domestik meningkat jadi $Q^D_K$, dan impor terbatas di $Q^M_K$. Di sini, harga domestik jadi 30,000 dan harga internasional tetep 12,000. Nah, dalam settingan kuota, maka importir akan untung sebanyak jumlah total impor $Q^M_K$, dikali dengan selisih harga domestik dengan internasional, 30,000–12,000. Atau, untung importir$=Q^M_K\times(30,000–12,000)=Q^M_K\times12,000$. Di gambar di bawah ini, untung importir adalah yang diarsir.
Untung Importir
Di sini, petani bawang untung dibandingkan perdagangan bebas, karena kalo impor bebas, mereka cuma suplai $Q^{DD}$, sementara di kuota mereka suplai $Q^D_K} dengan harga 30,000.
Nah, kalo kuota kita ganti dengan bea impor sebesar 18,000 misalnya, arsirannya jadi ke pemerintah. Importir boleh impor sebanyak mungkin, tapi karena harganya jadi mahal karena kena bea masuk, mereka ga akan impor banyak2. Impornya akan sebesar $Q^M_K$ itu. Dan $Q^M_K\times\text{18,000}$ akan jadi tax revenue pemerintah, sementara untung importir akan kecil banget, sekecil kalo free trade.