Sektor digital di Indonesia: peluang dan tantangan.
Postingan kali ini adalah tentang apa yang saya ketahui tentang ekonomi digital di Indonesia. Saat ini Indonesia (dan sebenarnya seluruh dunia sih) sedang latah-latahnya industri 4.0, ekonomi digital, internet of things and the likes. Digitalisasi sepertinya memang tidak terhindarkan. Ketika globalisasi meredup, tren pertukaran data malah naik gila-gilaan. Beberapa isi postingan ini juga tertuang di buku kolaborasi PPI Australia tentang Mewujudkan Indonesia 4.0. Di buku itu, yg dibahas lebih banyak lagi, termasuk pengaruh digitalisasi di sektor kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Disclaimer dulu bahwa saya bukan ahli di perekonomian digital Indonesia. Postingan ini buat isi waktu luang aja karena sektor ini sangat menarik, banyak yang membicarakan, dan sepertinya memang tidak terhindarkan di masa depan. Jika mau diskusi, yuk!
Ekonomi digital dan kesiapan Indonesia.
Apa yang dimaksud dengan ekonomi digital? Saya sendiri tidak begitu paham definisinya. Kalo Kominfo-nya Australia mendefinisikan ekonomi digital sebagai aktivitas sosial dan ekonomi yang difasilitasi oleh teknologi informasi. Termasuk di dalamnya adalah e-banking, sosial media, netflix, dan bisnis lain yang menggunakan komputasi, cloud dan alat pintar lainnya.
the global network of economic and social activities that are enabled by information and communications technologies, such as the internet, mobile and sensor networks
Kalau dari definisi di atas, sepertinya memang yang membuat sebuah aktivitas ekonomi disebut “digital” adalah ketika aktivitas tersebut melibatkan komputasi dan internet. Dan sudah sewajarnya memang ekonomi digital ini menarik perhatian berbagai pihak. Di laporan bertajuk Digital Globalization, McKinsey mengatakan pertumbuhan aliran data global tumbuh 45x lipat antara 2005 sampai 2014. Hal ini seiring dengan istilah ‘slowbalization’, yaitu berkurangnya pertumbuhan perdagangan barang, jasa dan investasi global sejak krisis ekonomi global 2008. Dengan kata lain, meskipun perdagangan barang, jasa dan investasi global di seluruh dunia berkurang, pertukaran data justru tumbuh dengan sangat cepat!
Teknologi informasi mengubah cara orang berbisnis. Komunikasi yang jauh lebih baik dan cepat antar manusia memungkinkan perusahaan multi nasional (MNC) melakukan bisnis di seluruh dunia. Outsourcing proses produksi dan lean manufacturing juga dimungkinkan karena koordinasi antar-manusia yang semakin cepat berkat peran internet. MNC dapat menggunakan tenaga kerja, bahan baku dan dana dari seluruh dunia, dan memasarkan produknya juga ke seluruh dunia. Hal ini tidak hanya perdagangan barang, namun juga jasa seperti Netflix.
Komputasi yang semakin baik dan kecepatan internet yang semakin meningkat bahkan mendorong komunikasi antar mesin menjadi mungkin. Jaman dahulu, outsourcing terjadi dengan cara desainer mengirimkan fax gambar untuk dikerjakan oleh pabrik. Surel membantu desainer mengirimkan gambar dengan lebih cepat dan kualitas lebih bagus. CAD-CAM dan 3D printing membuat hal ini semakin mudah lagi, karena desainer cukup mengirimkan file CAD aja1. Komunikasi antar mesin juga dapat dilakukan dengan teknologi seperti RFID, dan kecepatan komputasi dan internet yang makin kencang memungkinkan teknologi yang disebut dengan cloud computing.
Teknologi sensor semakin mempercepat komunikasi antar manusia dan mesin. Biasanya kita berkomunikasi dengan mesin dengan cara menginput data secara manual. Anda mungkin pernah menggunakan excel dan menginput angka-angka secara manual. Blog ini ditulis dengan input manual menggunakan keyboard. Sensor biometrik membantu anda “memerintahkan” smartphone anda untuk memberikan akses dengan sidik jari, jadi ga usah ngetik pin. Saat ini, smartwatch diuntungkan dengan berbagai sensor yang mampu mengirimkan informasi keadaan tubuh anda seperti detak jantung ke mesin yang berpotensi menyelamatkan hidup anda.
Kombinasi komunikasi atau pertukaran data antar manusia-manusia, mesin-mesin dan manusia-mesin inilah yang menjadi enabler dari jargon kesayangan kita semua: industri empat titik nol.
Tapi sepertinya masih agak jauh membicarakan industri 4.0 di Indonesia. Report World Economic Forum tahun 2018 mengatakan bahwa Indonesia masih di posisi nascent alias masih jauh. Beberapa problem yang mereka sebut adalah skill tenaga kerja yang jauh dari kebutuhan, infrastruktur yang kurang memadai dan merata, cyber security yang masih buruk, regulasi dan institusi yang masih perlu diperkuat.
Tidak banyak studi yang komprehensif tentang penerapan industri 4.0 di Indonesia, tapi penerapan industri 4.0 di sektor manufaktur yang dilakukan oleh CSIS ini sangat-sangat menarik. CSIS melakukan survey sendiri yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan manufaktur sebagian besar belum merasa perlu untuk meningkatkan penggunaan industri 4.0 mereka. Salah satu alasannya adalah buruh yang masih relatif murah dan industri yang memanfaatkan low-skilled labour intensive. Daripada upgrade teknologi, relokasi ke daerah dengan UMR rendah masih lebih masuk akal. Mereka menambahkan bahwa sebagian besar perusahaan ini mengakui mereka tidak begitu paham penerapan “Making Indonesia 4.0” dari pemerintah secara riil di lapangan.
Meski penerapan ekonomi digital di sektor manufaktur (alias industri 4.0) sepertinya masih cukup jauh, tapi setidaknya ada satu sektor yang berkembang dengan sangat cepat. World Economic Forum mengatakan Ada dua hal yang menjadi modal Indonesia untuk mempersiapkan diri untuk dunia digital: market size didorong populasi yang besar, dan investasi asing yang relatif baik. Kita bisa lihat betapa kedua hal ini berperan penting dalam berkembangnya ekonomi digital di Indonesia: e-commerce.
Perkembangan e-commerce di Indonesia.
Indonesia sebagai negara nomor 4 terbanyak penduduknya merupakan market yang sangat menjanjikan. Market yang besar sangat penting untuk membangun economies of scale, alias memungkinkan anda sebagai pengusaha memiliki pelanggan yang banyak. Harga smartphone dan paket data yang semakin terjangkau memungkinkan akses ke internet yang semakin mudah bagi penduduk Indonesia. Tidak hanya itu, Indonesia juga disebut-sebut sebagai warga global yang sangat lapar akan konten internet dan sosial media.
(Indonesians) spend a higher-than-average amount of time on the Internet, primarily engaging in heavy social media usage and e-commerce ….. Their social media usage is among the highest of any population in the world.
Mengutip dari sebuah studi oleh SMERU, Indonesia memiliki lima startup yang sudah menyandang gelar unicorn atau decacorn. Mereka adalah Gojek, Tokopedia, OVO, bukalapak dan Traveloka. Gojek mengklaim telah berkontribusi sebesar 55 triliun rupiah, sementara grab 48,9 triliun rupiah. Tak mau kalah, Tokopedia klaim memiliki kontribusi terhadap perekonomian Indonesia sebesar 1,5% PDB. Angka segitu kira-kira setara dengan kontribusi industri penerbangan se-Indonesia! Ini tokopedia doang2….
Transaksi e-commerce di Indonesia tumbuh sangat pesat. Policy Brief dari CSIS menunjukkan besarnya transaksi e-commerce yang naik secara eksponensial dari 32.29 triliun rupiah di 2014 menjadi sekitar 265.07 triliun rupiah di 2019. Tentu saja angka ini belum termasuk transaksi di luar platform seperti misalnya anda membeli barang lewat Facebook atau Kaskus.
Klik untuk visualisasi data dari Policy Brief CSIS tentang transaksi e-commerce di Indonesia. Jika anda baca pakai mode gelap, hati-hati karena gambarnya background putih
Permintaan yang besar ini masih diramalkan untuk terus tumbuh. Seiring dengan persaingan yang baik di industri smartphone dan telco, harga ponsel pintar dan paket data mampu ditekan. Demikian pula dengan pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan semakin banyaknya kelas menengah di Indonesia, potensi permintaan belanja melalui internet diramalkan akan semakin cepat.
Dengan potensi permintaan yang besar, kebutuhan pendanaan untuk investasipun meningkat untuk mengimbangi permintaan tersebut dengan penawaran yang cukup. Pemerintah Indonesia memfasilitasi peluang ini dengan menghapus e-commerce dari daftar negatif investasi melalui Perpres 44 2016. investasi asing pun menyerbu ke sektor ini. Pemain besar diantaranya adalah Tencent, Alibaba, Temasek, dan berbagai venture capitalist dari negara-negara barat. Bahkan Google dan Microsoft juga ikut-ikutan. Kantor berita Tirto mengutip Kepala BKPM pada 2019, Thom Lembong, yang mengatakan bahwa sekitar 15-20% investasi asing yang masuk ke Indonesia belakangan itu adalah ke e-commerce.
“Perkiraan kami yang masuk ke e-commerce itu 15-20 persen [dari total investasi]. Ya, [sekitar] 2-2,5 miliar dolar AS yang masuk per tahunnya,” kata Thomas dalam forum bertajuk “Investasi Unicorn untuk Siapa?”
Modal gede-gedean ini membuat platform sanggup kasih subsidi untuk scale-up. Sepertinya sudah bukan rahasia umum bahwa gojek dan grab di awal-awal pendiriannya saling bersaing menggelontorkan dana subsidi, mengorbankan profit jangka pendek demi memperbanyak user. Hal yang sama terjadi pada e-commerce di mana di awal mereka pada nawarin promo, diskon dan flash sale ga ketulungan gedenya. Hal ini tentunya bermanfaat bagi konsumen, setidaknya dalam jangka pendek.
Manfaat lain e-commerce adalah bahwa e-commerce ini menawarkan service yang luar biasa. Diantaranya etalase online, sistem pembayaran, advertising, bahkan ada yang sampai menawarkan pergudangan. Akibatnya, pedagang dapat fokus kepada produk mereka aja tanpa perlu mikirin sistem pembayaran dan pemasaran. Ini sangat baik bagi UMKM yang modalnya terbatas. Bahkan, jika produknya outsource atau impor misalnya, seorang pedagang bahkan ga perlu mikirin produksinya. Bener-bener cuma masarin doang!
Perkembangan sektor digital yang pesat ini tentunya menjadi peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan pemasukan di sektor pajak. Produk digital dimungkinkan untuk dipungut pajaknya oleh negara konsumen. Karena itu, meski misalnya Netflix sudah dipajakin di Amerika Serikat, tapi Indonesia berhak menarik pajak pembelian Netflix oleh konsumen di Indonesia. Peraturan soal penarikan pajak digital (atau bahasa kerennya Digital Service Tax) tertuang di Perpu nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan sistem keuangan di masa pandemi COVID-19. Meskipun di peraturannya ada embel-embel COVID-19-nya, tapi kayaknya pajak ini bakal ada terus meskipun COVID-nya ilang. Kalo ilang itu juga….
AAAaaaanyway
Teknis penarikan ada di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020, dan pajak ini diberi nama Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE). Penarikan pajak ini mirip kayak pajak restoran. Kemenkeu menggandeng platform seperti Netflix, Amazon, Google, Spotify, dll, jadi anda langsung bayar pajak ke Netflix dkk, mereka yang setor ke pemerintah.
Tantangan ke depan
Seiring kebutuhan data yang diramalkan akan naik terus, investasi jaringan harus terus dilakukan. Saat ini investasi di Indonesia kurang efisien, in part karena bikin jaringan (tower, kabel) harganya tidak murah, sementara returnnya kurang cukup menggiurkan untuk justifikasi investasi mahal. Di Australia sendiri, pembangunan infrastruktur internet disubsidi pemerintah, dan pemerintah memberi akses kepada internet provider. Logikanya mirip dengan membangun jalan tol: pemerintah bikinin jalan, lalu semua pemilik mobil bisa akses dengan membayarnya. Setidaknya sunk cost dan fixed cost bisa ditekan. Memang ada palapa ring tapi sejauh ini saya belum begitu paham pemanfaatannya seperti apa.
Tantangan investasi jaringan bukan hanya di mempercepat dan memperbanyak akses internet, tapi juga menumbuhkannya secara merata. Anda tentu sering dengar betapa kualitas sekolah on-line sangat bervariasi gara-gara kualitas jaringan yang berbeda-beda sangat jauh. Ada yang video lancar dan bandwidth banyak, tapi ada juga yang bahkan denger suara aja sulit. Baru aja kita punya 4G, eh udah mau nongol lagi 5G. Dipadukan dengan investasi jaringan yang sangat berat di swasta, maka swasta akan merespon terhadap pasar. Mereka harus memilih mau invest di upgrade jaringan di kota besar, atau memperluas jaringan ke kota kecil. Namanya juga swasta, ya mereka mengambil keputusan berdasarkan profit dong. Hal ini dapat mendorong ketimpangan akses internet lebih jauh lagi dari yang ada sekarang.
Berikutnya adalah tantangan khusus pertumbuhan e-commerce tanpa diikuti pertumbuhan kapasitas produksi. Kita sudah bahas di atas bahwa dorongan permintaan (market size) dapat meningkatkan stimulasi dorongan penawaran dari sisi dana (foreign investment). Tapi tanpa diikuti oleh dorongan penawaran lain seperti iklim bisnis dan investasi serta kualitas tenaga kerja, kita akan ketinggalan di sisi produksi. E-commerce hanya fasilitator pasar, tapi produksi bisa datang dari mana saja. Jika produksi dalam negeri tidak mampu bersaing, maka akibatnya adalah meningkatnya impor.
Jakarta Post pada Februari 2019 mengutip Menteri Keuangan yang mengatakan bahwa impor produk e-commerce tumbuh 9.11 persen pada 2019. Hal ini tentunya memberi tekanan pada neraca perdagangan, sesuatu yang sangat dikhawatirkan oleh Pemerintah Indonesia.
The Finance Ministry’s Customs and Excise Directorate General recorded that the contribution of import duties from e-commerce products to state revenue was recorded at Rp 1.19 trillion ($84.65 million) last year, about Rp 99.2 billion per month on average. However, the total import of e-commerce products reached US$17.17 billion in 2018 or 9.11 percent higher than the previous year’s figure. Meanwhile, the country’s trade deficit was recorded at US$8.57 in 2018.
E-commerce memiliki kelebihan yaitu mengorganisasikan pembelian secara individual. Hal ini membuat suatu fenomena bernama ‘small package in large numbers’, alias pembelian secara ketengan tapi buanyaaaaaak. Mungkin anda pernah dengar bahwa dulu Indonesia memiliki batas bebas bea impor di bawah $75. Artinya, jika belanjaan anda di bawah $75, anda tidak kena bea impor. Jaman dulu, ritel membeli dalam jumlah banyak. Berkat e-commerce, pembelian dilakukan secara individu. Akibatnya, banyak sekali paket-paket kecil bernilai di bawah $75 yang masuk ke Indonesia. Total impor tidak berkurang, tapi penerimaan bea masuk secara proporsi jadi tidak sebanyak seharusnya. Hal ini mendorong Pemerintah merevisi batas bebas bea impor menjadi $3 baru-baru ini
Terakhir adalah tantangan soal keamanan data dan privasi. Bukan rahasia umum lagi bahwa kemanan data dan privasi menjadi sorotan yang semakin penting di seluruh dunia. Indonesia sendiri mengalami serangan siber sebanyak 88 juta kali pada kuartal 1 2020. Kita pun pernah mendengar beberapa kali soal platform yang kebobolan oleh hacker. Hal ini bahkan pernah terjadi di Pemerintah Indonesia.
Kebijakan yang lebih baik
Di samping tantangan seperti infrastruktur dan human resource, pemerintah harus meningkatkan kemampuannya untuk meregulasi sektor ini. Regulasi Fintech, hubungan industrial antara platform online dengan mitra driver, cloud computing dan industri 4.0 perlu kejelasan dan penerapan yang konsisten di lapangan. Belum lagi soal privasi dan keamanan data yang masih menjadi polemik tidak hanya di Indonesia tapi secara global. Kita juga punya sedikit masalah di penyebaran hoax yang masif serta penerapan UU ITE yang, ya gitu deh.
Sektor digital datang secara mendadak dan tumbuh dengan sangat cepat, lebih cepat daripada kemampuan kita beradaptasi. Untungnya, dengan hype yang luar biasa di sekitar ekonomi digital, semakin banyak talenta pemikir yang membantu Pemerintah dalam menyusun kebijakan yang baik. Tinggal bagaimana eksekusinya aja.
(((tinggal)))
-
Teresa C. Fort, Technology and Production Fragmentation: Domestic versus Foreign Sourcing, The Review of Economic Studies, Volume 84, Issue 2, April 2017, Pages 650–687, https://doi.org/10.1093/restud/rdw057 ↩︎
-
asumsi klaimnya benar yaa. ↩︎