Permasalahan neraca pembayaran bukan (hanya) gara-gara perdagangan

Sebagai orang yang lama berkecimpung di bidang perdagangan dan industrialisasi, saya tumbuh dengan pandangan bahwa comparative advantage is everything. Jika ekspor kita untuk sebuah barang, misalnya komputer, itu kecil atau bahkan net impor, artinya kita tidak pintar membuat barang itu. Alias, keunggulan komparatif bangsa Indonesia bukan di komputer. Akibatnya kita membuat ekspor menjadi indikator penting akan keunggulan kita dalam industrialisasi.

Tentu saja ini tidak salah. Comparative advantage ini emang alasan yang sangat kuat untuk berdagang, dan alasan utama kenapa 9 dari 10 pintu rejeki ada di perdagangan he he he. Itu pula alasan kenapa saya jadi dosen, dan bukan profesi lain: saya akan bisa bepunya beras lebih banyak jika saya kerja jadi dosen daripada saya jadi petani. Saya harap pemerintah bisa lebih paham hal sederhana seperti comparative advantage.

Tapi model yang menjelaskan comparative advantage punya asumsi tersendiri yang belum tentu benar di dunia nyata. Sebagai lulusan S2 ekonomi waktu itu, hal ini tentu saja sesuatu yang sudah jelas, tapi pemahaman saya masih kurang untuk menghubungkan ini dengan makro keseluruhan. Saya baru bener-bener ngerti setelah mengikuti Michael Pettis dari Peking University. Prof. Pettis menjelaskan dengan konsep yang sangat-sangat basic, yaitu accounting identity. Simpel aritmatika yang kita semua udah belajar di S1: the infamous $Y=C+I+G+(X-M)$.

Intinya adalah current account, atau neraca pembayaran, itu harus selalu seimbang. Jika dia surplus atau defisit, maka dia akan diseimbangkan oleh financial account. Dengan kata lain, jika ada ketidakseimbangan / imbalance di neraca finansial, neraca pembayaran akan menyeimbangkannya.

Salah satu asumsi yang ada di model comparative advantage yang paling primitif (maksudnya tentu saja Ricardian, model yg pertama kali anda pelajari di S1 ekonomi internasional) adalah bahwa current account=0. Dengan kata lain, di model tersebut, ekspor = impor, which implies saving = investment.

counterbalance Condition Sustainability
Increase in productive investment Happen if there’s not enough domestic saving sustainable
Rising inventories keep production even if there’s no demand not sustainable
Increase in speculative investment lots of saving, not enough project to fund. money move to funny projects like ~new capital city~ crypto not sustainable
Linear changes in consumption consumption rise with income 1 to 1 sustainable but unlikely
Increase in credit-financed consumption HH feels wealthier amid higher asset prices, fund consumption with debt not sustainable
Increase in unemployment When Q^S > Q^D, firms reduce capacity -> fire workers sustainable

From Pettis (2013)1


  1. Pettis, M. (2013). The Great Rebalancing: Trade, Conflict, and the Perilous Road Ahead for the World Economy. Princeton University Press. ↩︎

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Universitas Indonesia. Mitra senior di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus