Persatuan Pelajar Indonesia: untuk apa?
Twitter saat ini sedang ramai gara-gara postingan BEM UI yang ini:
JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE pic.twitter.com/EVkE1Fp7vz
— BEM UI (@BEMUI_Official) June 26, 2021
Diantara replies-repliesnya, ada beberapa yang menarik, yang intinya mempertanyakan legitimasi BEM UI dalam mewakili seluruh aspirasi mahasiswa Universitas Indonesia. Beberapa juga berkata bahwa BEM UI sebaiknya jangan dijadikan alat politik. Bahkan ada yang menyerang ketuanya dan mempermasalahkan bahwa ketua BEM UI adalah bagian dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Pada postingan kali ini, saya tidak ingin membahas tentang kritik BEM UI tersebut, tentang apakah esensinya tepat, tentang apakah caranya tepat. Tapi yang cukup menarik sebenarnya ada di soal fungsi organisasi kemahasiswaan secara umum. Apakah boleh lembaga ini di-“politisasi”?
Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia (PPID)
Lho kok tiba-tiba lompat ke Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia (PPID)? He he he maaf ya. Saya harus mengakui bahwa saya bukanlah mahasiswa yang sering aktif di organisasi. Saya adalah mahasiswa yang kuliah pulang dan maen game. hahaha. Saya kurang pandai berorganisasi dan sangat berpikiran pendek. Karena itu, saya rasa saya gak punya legitimasi apapun untuk bicara himpunan mahasiswa secara umum, seperti BEM UI. Saya akan fokus di PPID.
Keterlibatan saya di PPID adalah salah satu keorganisasian yang jarang saya lakukan selama masih jadi mahasiswa. Tapi dibilang terlibat juga sebenarnya saya di PPID cuma membantu sedikit di bidang penelitian. PPID memiliki kaki yang bernama Direktorat Penelitian dan Kajian yang dikomandoi Denny Irawan. Saya bantuin doi bikin kajian di bidang ekonomi. Fungsi ini mungkin agak beda dari BEM, tapi justru itulah saya jadi tertarik ikutan.
Anyway, postingan ini sebenarnya lebih ke pemahaman saya soal apa sebenarnya fungsi dari PPI. Salah satu yang menyentil saya adalah artikel dari dr. Rully Tri Cahyono, mantan ketua PPI Kota Groningen, Belanda, yang judulnya “Pergeseran Peran Perhimpunan Indonesia”. Pada tulisan tersebut, beliau mengritik pergeseran peran PPI saat ini yang terlalu “dansa-dansi”.
Menurut beliau, PPI di jaman sebelum 1920-an, ketika itu baru ada di Belanda, memang dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk, well, “dansa-dansi”. Buat kumpul-kumpul having fun aja. Nah, pasca 1920-an, seiring dengan semakin banyaknya pemuda Indonesia yang sekolah di Belanda, PPI mulai berubah haluan dan menjadi lebih “politis”, seiring dengan masuknya geng Mohammad Hatta dkk. Coba baca tulisan aslinya. Lumayan mencerahkan.
Pesan beliau di tulisan tersebut adalah: PPI, yang saat ini sudah ada di banyak negara, sampe ada versi “dunia”-nya, kok malah balik ke “dansa-dansi”? Beliau memimpikan PPI yang kembali ke jaman pasca 1920-an tersebut. Menjadi aktif dalam geraka-gerakan sosial dan politik.
Mungkin kira-kira mirip dengan apa yang dilakukan oleh BEM UI saat ini? Hanya Pak Rully yang tau, tapi tebakan saya, ya.
PPI yang lebih SJW dan Scientific?
Sebenarnya saya sendiri tidak tau seberapa banyak orang seperti Pak Rully, yang gundah dengan sepak terjang PPI yang tampak “dansa-dansi”. Tapi anecdotally, saya seringkali mendapati celetukan serupa ketika belum bergabung dengan PPI. Banyak yang bilang bahwa perhimpunan mahasiswa Indonesia di luar negeri ini terlalu banyak main-mainnya. Padahal mereka (kami?) adalah sekumpulan orang-orang penuh privilege yang mestinya memiliki sebuah cause untuk diperjuangkan.
Saya sendiri termasuk yang merasa bahwa mahasiswa Indonesia mestinya punya sumbangsih pemikiran atau penelitian dalam bentuk tulisan. Lagi, secara anekdotal, saya sering mendengar beberapa celetukan terkait ini. Semisal “si x posting jalan-jalan mulu. Harusnya posting prestasi dong. Karya. posting pergi conference dan publikasi.” Terlepas perdebatan tentang posting jalan-jalan, saya rasa celetukan-celetukan tersebut punya poin.
Apalagi saya sebagai peraih Beasiswa. Entah ada berapa orang yang punya potensi yang seharusnya pergi alih-alih saya. Saya merasa punya tanggung jawab moral untuk berprestasi dan serius dalam studi saya. Merasa dulu sih. apakah beneran berprestasi mah urusan nanti wkwk.
Saya gabung PPID karena ingin mencoba membantu mengangkat agar citra pelajar Indonesia, khususnya yang tergabung di PPI, gak melulu soal dansa-dansi, dan lebih tenar sayentifiknya. Hahaha. Sebuah kesombongan yang luar biasa. Tapi gpp lah namanya juga usaha. Toh saya ga sendirian di sini.
oiya, Satu project besar kami di Ditlitka PPID adalah bikin buku yang akan dipublikasikan melalui LIPI Press. Tunggu tanggal mainnya ya he he he.
PPI untuk siapa?
Tapi diskusi soal peran perhimpunan pelajar Indonesia justru paling rame di acara halal bi halal di Canberra.
Pada akhir Mei 2021, PPI ACT (Canberra), ANUISA (organisasi kemahasiswaan Indonesians di ANU), dan Indonesia Synergy, sebuah (((ormas))) yang saya juga anggotanya, bikin acara halal bi halal di kampus saya di ANU.
Acara berkedok halal-bi-halal dan makan-makan ini sebenarnya diawali dengan diskusi ringan dan ngalor-ngidul tentang peranan PPI. Diskusinya sangat seru dan mencerahkan. Intinya, saya kalau boleh merangkum, mengumpulkan ada setidaknya 5 alasan kenapa PPI harus ada.
1. Student Welfare
Alasan nomor satu yang langsung mencuat diantara para hadirin adalah soal student welfare. Ini adalah core dari pertanyaan “PPI untuk siapa?” Sebagai organisasi yang dibentuk oleh mahasiswa, sudah sewajarnya PPI mengusahakan yang terbaik untuk kesejahteraan mahasiswa Indonesia.
Tinggal di negeri orang, apalagi bagi yang pertama kali datang dan ga kenal siapa-siapa, bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa contoh terkait peran PPI untuk kesejahteraan mahasiswa Indonesia di luar negeri. Mas Haly dari PPI ACT punya program semacam “bengkel rakyat” gitu, yang fungsinya membantu mahasiswa yang mobilnya rusak dan perlu penanganan, terutama pas rusaknya lagi gak di rumah. PPI Australia bikinin webinar dengan pejabat terkait tentang prosedur Back for Good dan ngepakin barang-barang ke Indonesia. Mas Riandy, temen saya, memberikan celetukan tentang bahwasanya PPI adalah satu-satunya organisasi yang dia tau bisa dikontak ketika pertama kali tiba di Australia. Cari-cari info, bahkan mungkin pooling jemputan juga bisa minta tolong PPI.
Hal-hal terkait welfare ini mungkin paling gampang mendapatkan simpati, terutama karena student welfare adalah hal yang sangat dirasakan manfaatnya oleh semua orang.
2. Advokasi
Peran kedua masih terkait student welfare, tapi lebih ke advokasi. Ide ini dilontarkan Gatra, juga temen saya, dengan memberikan contoh PARSA, organisasi mahasiswa pasca sarjana di ANU. PARSA seringkali mengadvokasikan kepentingan mahasiswa post-grad ke ANU, seperti mengusahakan housing terjangkau, atau membantu mahasiswa yang merasa dicurangi oleh Kampus. PARSA bahkan punya pengacara sendiri lho. Oh ya, meskipun PARSA seringkali bersebrangan dengan kampus, tapi sebagian funding PARSA sendiri justru datang dari kampus. haha.
3. Dansa-dansi
meskipun banyak yang suka nyinyirin jalan-jalan atau kegiatan bersenang-senang lainnya, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan ini cukup penting bagi mahasiswa dan demand-nya cukup tinggi. saya sendiri pernah ikutan ski trip yang diselenggarakan oleh ANUISA (apa PARSA ya? Apa malah PPI? Aduh lupa he he) dengan harga yang cukup terjangkau.
Dansa-dansi juga bukan konsumsi mahasiswa setempat lho. Banyak juga teman-teman di Indonesia yang sepertinya tertarik dengan tulisan-tulisan, foto dan video jalan-jalan di luar negeri.
Dansa-dansi ga melulu jalan-jalan ya. Bisa juga berupa halal-bi-halal gitu kan sebenernya. Atau acara kumpul-kumpul dan senang-senang lain. Bisa juga koordinasi festival baik bersama kampus maupun KBRI. Hal-hal seperti ini sangat menolong terutama buat yang dikit-dikit kangen Indonesia.
4. Pernyataan sikap dan aktivisme
Poin ini mungkin yang saya tangkap diinginkan untuk naik porsinya oleh dr. Rully, juga apa yang dilakukan BEM sekarang, yaitu pernyataan sikap tentang Presiden RI. The feeling is not exclusive to dr. Rully lho. Saya rasa banyak mahasiswa Indonesia yang memiliki keinginan kuat untuk terlibat di aktivisme dan pernyataan sikap.
Tidak hanya itu, demand dari masyarakat juga cukup tinggi untuk mahasiswa Indonesia melakukan pernyataan sikap. Hal-hal seperti “masa mahasiswa di luar negeri diem aja KPK dimatikan?” itu sering banget saya dengar.
Justru di sini mahasiswa Indonesia seringkali berbeda sikap. Tidak seperti hal-hal terkait student welfare yang notabene memiliki benefit bagi SEMUA mahasiswa Indonesia di luar negeri, pernyataan sikap ataupun aktivisme lainnya tidak seragam dirasakan mahasiswa. Contohnya, ketika ada permintaan bagi PPI untuk menunjukkan pernyataan sikap tentang FPI, Papua, Palestina atau Myanmar, misalnya, sulit untuk mencapai konsensus 100% SEMUA mahasiswa memiliki satu sikap yang sama. Jika di situasi seperti itu PPI mengeluarkan pertanyaan sikap, maka akan muncul pertanyaan: pernyataan ini mewakili siapa?a
Ini kan jadi persis seperti beberapa replies di twit BEM UI yang menjadi pembukaan tulisan ini.
Di samping itu, situasi Indonesia saat ini sudah jauh berbeda dari Indonesia di 1920-an. Saya sebagai awam sejarah hanya bisa menebak-nebak seberapa mudah membangun kuorum merdeka dari pemerintahan kolonial. Akan tetapi, mungkin tidak sulit membayangkan bahwa mayoritas anggota PI ketika itu memiliki semangat kemerdekaan yang sama. Jika anda nasionalis, maka anda akan bersikap menentang penjajahan pemerintah kolonial.
Situasi saat ini, Indonesia sudah merdeka dan memiliki pemerintahan yang sah. Aktivisme menjadi sedikit lebih sulit karena makna nasionalisme jadi lebih mudah dipertanyakan. Apakah nasionalisme artinya kita harus selalu setuju dengan posisi pemerintah saat ini? Apakah negara saat ini akan sama dengan negara ketika pemerintahnya ganti, masih oleh orang Indonesia, tapi beda kubu? Apakah penjajahan yang dilakukan oleh negara lain juga harus kita komentari? Hal-hal seperti ini membuat aktivisme sedikit lebih sulit menurut saya, apalagi dengan latar belakang ilmu dan pengalaman yang berbeda-beda.
5. Mendorong penelitian dan ilmu pengetahuan
Terakhir adalah peran yang lebih ke intelektual-intelektualan. Mahasiswa Indonesia saat ini ada di mana-mana. Di Australia aja kampusnya macem-macem. Di negara-negara lain tentu ada banyak mahasiswa yang belajar ilmu yang meski satu disiplin, tapi memiliki spesialisasi yang berbeda, menggunakan teknik yang berbeda di gemblengan dosen yang juga berbeda-beda. PPI dapat menjadi wadah untuk mempertemukan intelektual-intelektual muda ini, dan memberikan ruang untuk kolaborasi penelitian.
Sebagai mahasiswa yang hobinya kuliah pulang, sebenernya fungsi ini sangat menarik dan mungkin bisa membantu
Jadi, yang mana PPI, yang mana yang bukan?
Pada akhirnya, diskusi ngalor-ngidulnya tidak bener-bener membahas yang mana, dari ke-5 alasan di atas, yang beneran alasan yang pas untuk menjustifikasi keberadaan PPI. Kami semua keburu laper dan kalau tidak segera makan mungkin bakalan rusuh acaranya wkkwkw.
Kami sempet bahas dikit soal “level” di PPI. Hal-hal terkait student welfare tentunya lebih masuk akal dilakukan PPI level kota, atau maksimal negara. Mungkin PPI Dunia gak terlalu lah. Tapi PPID bisa aja mengadvokasikan, misalnya, hal yang lebih umum seperti mengusahakan legalisasi payung perlindungan warga Indonesia di luar negeri, atau semacamnya.
Saya sendiri merasa pada akhirnya fungsi mana yang akan diambil oleh PPI, semua tergantung ketua dan susunan kabinetnya. Misalnya program bengkel mas Haly belum tentu diteruskan pengurus selanjutnya. Pun dengan program pembuatan buku (yang bisa dibilang fungsi nomor 5), belum tentu diteruskan fungsi PPID berikutnya.
Jangan lupa bahwa keterlibatan di dalam organisasi kemahasiswaan sifatnya voluntary. Berbeda dengan PARSA, PPI generally ga punya sumber funding gede dan konsisten, apalagi untuk bayar orang untuk ngerjain fungsi-fungsi tertentu terkait student welfare dan advokasi. Kita tidak bisa menghakimi orang-orang yang bergabung ke dalam PPI. Apakah orangnya emang suka berorganisasi? Apakah orangnya altruistik dan berniat membantu sesama mahasiswa? Atau orangnya punya agenda tertentu? Mau menggunakan PPI untuk tujuan politik pribadi dan panjat sosial? Kalaupun iya, apakah itu salah?
Dan jangan lupa, kegiatan kemahasiswaan juga bisa memiliki bentuk non-PPI. IS, misalnya, dibentuk secara ga sengaja untuk menjalankan fungsi intelektual karena di ANU suka banyak kedatangan tamu-tamu yang bisa diajak diskusi seru. Sebelum pandemi, terakhir kami kedatangan Bu Mari Pangestu, Pak Adrianus dari Kompolnas, Prof Arif Ansori Yusuf, dan Pak Burhanuddin Muhtadi.
Aktivisme juga tidak harus lewat PPI juga sebenarnya bisa. IS sendiri pernah beberapa kali menjalankan fungsi aktivisme waktu Mbak Chitra masih di Canberra.
Jadi, apa fungsi PPI? Kenapa PPI harus ada? Ada yang punya ide? reply di sini ya! 😁