untuk industri makanan dan minuman di Indonesia
Krisna Gupta
Center for Indonesian Policy Studies
14 November 2022
Sering dipanggil Imed
Full-time lecturer di Politeknik APP
Part-time lecturer di Universitas Indonesia
Master degree in economics UI/VU
PhD in economics di Australian National University
Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies.
Selengkapnya di imedkrisna.github.io
Pertumbuhan tinggi dan stabil bahkan di tengah pandemi.
Tantangan yang dihadapi:
Miss & match hulu dan hilir, ditunjukkan dengan tingginya kebutuhan bahan baku impor.
Kurangnya sarana & prasarana IKM \(\rightarrow\) produktivitas rendah.
Tujuan: peta jalan pertumbuhan industri makanan & transformasi ekonomi.
Saya fokus pada problem statement di TOR tsb.
GVC dalam industri pangan.
Pentingnya memisahkan sawit.
Tentang transformasi ekonomi dan kebijakan.
GVC punya value extra di F&B ketimbang manufaktur lain.
Iklim dan geografi mengakibatkan tiap negara memiliki keunggulan yang berbeda-beda.
ada yang cocok tanam sawit, tebu, menggembala sapi, dan lain sebagainya.
Garam: nelayan vs penambang?
Kombinasi gizi dari berbagai jenis pangan dari berbagai belahan dunia.
Kombinasi rasa: oplos kopi, kakao, dst.
Perusahaan yang mampu manage rantai pasok yang kompleks akan lebih kompetitif.
Negara yang memiliki kebijakan perdagangan yang pasti punya advantage
Perjanjian perdagangan adalah modal penting:input & market.
Negara yang mengandalkan GVC akan mengejar perjanjian dagang secara agresif.
RCEP akan memihak negara yang dapat memanfaatkan rantai pasok global.
GVC memberikan peningkatan produksi, lapangan pekerjaan, dan meningkatkan investasi di banyak negara (World Bank, 2020).
Di Indonesia, keterlibatan GVC memberi dampak yang baik terhadap produktivitas, employment dan ekspor
(Amiti & Davis, 2012; Amiti & Konings, 2007; Gupta, 2021; Kis-katos, Janneke & Sparrow, 2018; Kis-katos & Sparrow, 2015; Pane & Patunru, 2022; Rahardja & Varela, 2015)
Industri pengolahan kelapa sawit memiliki peranan yang sangat besar di struktur ekspor Indonesia.
Buah sawit memang merupakan komoditi perkebunan, harganya berfluktuasi.
Namun, minyak nabati sendiri masuk kategori manufaktur dgn KBLI heading 10.
Pertumbuhan industri pangan sendiri sangat dipengaruhi performa minyak sawit.
Ketergantungan sawit dapat memberi bias analisis pada industri makanan.
Sebagai eksportir sawit, nilai tambah asing memiliki peran yang tidak besar.
Akibatnya kita akan mengira impor di F&B tidak penting.
Industri makanan jadi dengan nilai tambah lebih besar sangat mengandalkan rantai pasok global.
Analisis untuk turunan sawit dan industri pangan secara umum harus dilakukan secara terpisah.
Pemerintah menargetkan pengurangan impor di sektor mamintem.
counter-intuitive dengan evidence & nature industri.
tidak sesuai dengan semangat RCEP maupun G20.
Mengurangi impor bahan baku pangan = meningkatkan ketergantungan pada sawit.
Fokus pada sawit: tingkatkan produktivitas & nilai tambah, isu lingkungan membatasi pasar.
Fokus sawit vs diversifikasi dengan GVC.
Pemerintah ingin meningkatkan proses transformasi ekonomi ke arah manufaktur.
Faktor produksi akan pindah ke manufaktur: tenaga kerja, tanah, modal.
expect relative reduction in agriculture production.
manufaktur butuh input: gap-nya harus diisi impor.
Memerangi impor bukan strategi yang bijak jika goalnya transformasi struktural.
Banyak instrumen yang lebih baik daripada trade (Alta, Fauzi, Setiawan, 2022).
Untuk memastikan transformasi struktural yang baik, perlu kebijakan yang relevan untuk agrikultur.
Petani masih mendominasi program bantuan sosial. Perlu diperkuat dan bantu transisi jika diperlukan.
Perdagangan gandum dan kedelai cenderung lebih sederhana, dan produk turunannya cenderung lebih populer dan terjangkau.
Aturan produk lain cenderung lebih ketat:
Beberapa aturan ini makan waktu dan membebani secara biaya.
\(^1\) Pengalaman CPO dan lainnya: data yg baik itu susah dan tidak cukup
Alta, A., Setiawan, I., & Fauzi, A. N. (2021). Beralih dari subsidi pupuk dan benih: mengkaji ulang bantuan untuk mendorong produktivitas dan persaingan di pasar input pertanian. CIPS Policy Paper, 43. cutt.ly/cips-mk43
Amanta, F., & Gupta, K. (2022). Perdagangan untuk pemulihan ekonomi: kebijakan impor untuk mendukung sektor makanan dan minuman Indonesia. CIPS Policy Paper. cutt.ly/cips-mk51
Amiti, M., & Konings, J. (2007). Trade Liberalization, Intermediate Inputs, and Productivity: Evidence from Indonesia. The American Economic Review, 97(5), 1611-1638. https://doi.org/10.1257/000282807783219733
Amiti, M., & Davis, D. R. (2012). Trade, Firms, and Wages: Theory and Evidence. The Review of Economic Studies, 79(1), 1-36. http://www.jstor.org.virtual.anu.edu.au/stable/41407043
Gupta, K. (2022). The Heterogenous Impact of Tariff and NTM on Total Factor Productivity of Indonesian Firms. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 1-29. https://doi.org/10.1080/00074918.2021.2016613
Ing, L. Y., Yu, M., & Zhang, R. (2019). The evolution of export quality: China and Indonesia. In L. Y. Ing & M. Yu (Eds.), World Trade Evolution: Growth, Productivity, and Employment. (pp. 261-302). Routledge.
Kis-Katos, K., Pieters, J., & Sparrow, R. (2018). Globalization and Social Change: Gender-Specific Effects of Trade Liberalization in Indonesia. IMF Economic Review, 66(4), 763-793. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1057/s41308-018-0065-5
Kis-Katos, K., & Sparrow, R. (2015). Poverty, labor markets and trade liberalization in Indonesia. Journal of Development Economics, 117, 94-106. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2015.07.005
Pane, D. D., & Patunru, A. A. (2022). The role of imported inputs in firms’ productivity and exports: evidence from Indonesia. Review of World Economics. https://doi.org/10.1007/s10290-022-00476-z
Rahardja, S. & Varela, G.J. (2015). The Role of Imported Intermediate Inputs in the Indonesian Economy. World Bank Policy Note 3
Scoppola, M. (2021). Globalisation in agriculture and food: the role of multinational enterprises. European Review of Agricultural Economics, 48(4), 741-784. https://doi.org/10.1093/erae/jbab032
World Bank. (2020). World Development Report 2020 : Trading for Development in the Age of Global Value Chains. Washington, DC: World Bank.