Kebakaran dan Kebanjiran: Sebuah Pelajaran
Australia sedang berduka. Kebakaran hebat melanda di benua ini, tepatnya di provinsi New South Wales (NSW), yang sekarang merambat ke Victoria juga. Kebakaran kali ini luasnya sampai jutaan hektar, sebuah rekor baru. Korban jiwa mencapai puluhan orang dan kerugian aset penduduk mencapai ratusan ribu dolar.
Gara-gara Krisis Iklim?
Tidak butuh waktu lama sampai kejadian ini diberitakan oleh media internasional. Beberapa hari yang lalu, saya mendengarkan episode Babbage tentang Australian wildfire, dengan narasumber Catherine Brahic, environment editor di majalah The Economist. Menurut tante Catherine, bushfire, atau kebakaran semak, merupakan hal normal di Australia, bagian dari ekosistem yang kering.
climate change memperparah hal yang seharusnya normal itu.
Krisis iklim mengakibatkan Australia menjadi daerah yang jadi lebih kering lagi, dan makin panas. Tahun ini kembali Australia memecahkan rekor suhu terpanas dan hujan terjarang. Udara yang kering dan vegetasi berupa semak-semak yang kering banget, membuat daerah ini mudah terbakar. Ditambah dengan fenomena Dry Thunderstorm yang merupakan sesuatu yang lumayan wajar terjadi, ya makin serem lah kebakaran ini. Udah gitu anginnya juga kenceng banget di AUstralia. Bayangin aja, petirnya ada, tapi hujannya nggak ada. Begitu nyamber pohon yang udah kering banget, trus apinya ditiup angin, selesai sudah.
Bagaimana dengan di Indonesia
Sangat wajar jika anda langsung mengaitkan kejadian ini dengan Indonesia. Di waktu yang tidak jauh berbeda, Jakarta dan sekitarnya mengalami banjir yang sangat parah, hingga menelan 60 korban jiwa. Curah hujan ketika kejadian mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah. Jika di Australia, kering menjadi semakin kering, nampaknya di Jakarta yang terjadi adalah sebaliknya: basah menjadi semakin basah.
“Areas that are currently wet, will likely become more wet. Areas that are currently dry will become more dry,” Professor Abraham said. sumber dari sini
Saya tidak perlu menjabarkan lagi bagaimana banjir kali ini begitu besar. Banyak sekali berita nasional sudah meng-cover kejadian ini, atau bahkan anda sendiri mengalaminya. Banyak perdebatan mengenai apa yang salah atau bisa diperbaiki, tapi yang jelas, sebagian besar masyarakat sepakat bahwa krisis iklim merupakan salah satu yang paling berpengaruh.
Masalah akibat krisis iklim
Ada beberapa hal yang menjadi masalah ketika krisis iklim terjadi. Pertama adalah ketidak pastian. Krisis iklim membuat prediksi cuaca ekstrim menjadi semakin sulit. Asuransi juga akan kesulitan menghitung risiko akibat perubahan ini, yang dapat mengakibatkan premi naik, atau bahkan produknya hilang karena tidak feasible. Petani akan kesulitan memperkirakan kapan dan bagaimana melakukan penanaman.
Pekerjaan BMKG menjadi semakin sulit dalam memprediksi cuaca.
apalagi jika ada politisi yang seperti iniBer-kali2 BMKG salah;yg diramal hujan extrim, tak ada hujan, yg tak diramal hujan extrim malah curah hujannya terdahsyat. Tapi uniknya nggak ada yg lakukan class action ke BMKG. Tapi class actionnya kpd AniesB. Sekalipun yg paling terdampak banjir adalah Provinsi Jabar&Banten. https://t.co/VYH007gLIF
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) January 12, 2020
Masalah berikutnya adalah tentang mengubah kebiasaan. Cara membangun bangunan, undang-undang bangunan, semua harus menyesuaikan. Di konteks Jakarta, saya nggak tau sih tapi sering denger cerita bahwa beberapa warga sudah terbiasa hidup dengan banjir dan punya mitigasi sendiri, misalnya tau kapan harus mengungsi, tau rumahnya harus diapain supaya dampak banjir bisa diminimalisir. Dengan banjir yang mungkin akan semakin parah, apakah kebiasaan tersebut masih cukup atau harus ditingkatkan intensitasnya, masih harus dilihat lagi.
Yang lebih parah, daerah yang dulu habitable jadi makin berisiko, mungkin sampai harus dipindahkan. Padahal kita semua tau relokasi adalah sesuatu yang sensitif secara politis. Apakah pemerintah harus turun tangan? Atau biarkan warga di sana sampai nanti terusir dengan sendirinya oleh kekuatan alam? Saat ini belum nampak soal naiknya tingkat risiko suatu daerah sampai tidak bisa ditinggali lagi (mungkin), tapi bisa jadi ini hanya masalah waktu, sehingga harus dipikirkan sampai sekarang.
Politik, Politik, Politik
Dan tentu saja masalah terbesar mungkin adalah politik. Semua orang bilang pemerintah harus melakukan sesuatu, tapi bagaimana membuat politisi bersatu untuk menggolkan peraturan soal mitigasi krisis iklim? Di Australia, politik adalah sebuah kekacauan. Warganya banyak yang gak peduli, dan politisinya juga pada medioker. Apalagi Australia adalah negara yang lumayan industri penyumbang krisis iklimnya termasuk besar.
Di Indonesia, pembicaraan soal krisis iklim masih sangat jarang, setidaknya tidak semasif di Australia, jadi makin susah untuk dikomentari. Regulasi soal penggunaan air tanah tidak kunjung menjadi isu penting baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pembangunan Giant Sea Wall tampaknya mandeg, dan pemerintah pusat malah mau kabur ke ibu kota baru dengan biaya yang tidak kecil. Kerjasama antar Pemda dengan Pusat juga seperti tidak ada gaungnya.
Belum lagi politik internasional. Amerika Serikat baru-baru ini mundur dari perjanjian Paris. Pembicaraan di Madrid juga mandeg. Carbon tax masih tidak disukai oleh sebagian besar negara.
Sementara itu, waktu terus berjalan, emisi terus meningkat, rekor terus dipecahkan. Jika sulit untuk kita semua untuk mengurangi emisi karbon, mengurangi penggunaan air tanah, dan mengubah gaya hidup, tinggal menunggu waktu sampai bumi yang memaksa kita melakukan itu semua, dengan caranya sendiri.
Semoga kita semua siap.