Krisna Gupta
8 April 2020
krisna.or.id
Mahasiswa doktoral di Crawford School of Public Policy, Australian National University dengan didanai beasiswa Australia Awards.
Fokus penelitian di kebijakan publik terkait perdagangan internasional dan investasi dan hubungannya dengan industri manufaktur di Indonesia.
Kontributor di beberapa forum akademis seperti East Asia Forum, The Conversation Indonesia dan ANU Indonesia Project
Kadang-kadang mengisi blog pribadi dan berkicau di twitter
Selengkapnya tentang saya di sini
Sekilas update pandemi COVID-19 dan respons pemerintah.
Kondisi ekonomi saat COVID-19.
Kondisi moneter, fiskal dan keseimbangan eksternal.
Slide ini dapat diakses di krisna.or.id/event/uns
Weekly tracker OECD menggunakan data dari google trend dan machine learning untuk meramal pertumbuhan PDB mingguan.
diramalkan oleh OECD, Indonesia diramalkan akan pulih secara perlahan.
Indikator | 2018 | 2019 | 2020 | 2021 | 2022 |
---|---|---|---|---|---|
Pertumbuhan PDB | 5.2 | 5.0 | -2.1 | 4.9 | 5.4 |
Pertumbuhan Konsumsi rumah tangga | 5.1 | 5.2 | -2.7 | 3.6 | 7.1 |
Pertumbuhan Konsumsi pemerintah | 4.8 | 3.3 | 1.9 | -0.3 | 1.0 |
Pertumbuhan Gross Fixed Capital Formation | 6.7 | 4.5 | -4.9 | 2.0 | 6.0 |
Inflasi (CPI) | 3.2 | 3.0 | 1.9 | 2.1 | 3.0 |
Defisit APBN (% PDB) | -1.6 | -2.2 | -6.5 | -5.7 | -4.1 |
Neraca Pembayaran (% PDB) | -3.0 | -2.7 | -0.4 | 0.9 | 0.3 |
Hampir semua mencapai realisasi yang cukup baik.
Bidang | Budget (Triliun rupiah) | Deskripsi |
---|---|---|
Kesehatan | 88 | Pengadaan peralatan medis dan insentif nakes |
Sosial | 204 | Penambahan PKH, kartu pekerja, dan bantuan sosial lainnya |
insentif bisnis | 121 | pemotongan pajak penghasilan, penundaan bea masuk untuk manufaktur, dll |
stimulus UMKM | 123 | Subsidi KUR |
Stimulus BUMN | 54 | bantuan penyertaan modal |
Stimulus Pemda | 106 | bantuan pariwisata, perikanan, dan lain-lain melalui Pemda |
burden sharing belanja pemerintah, pertama kali sejak krisis moneter 1998.
Bank Indonesia menurunkan suku bunga beberapa kali sampai ke level terendah sejak krisis moneter 1998.
COVID-19 datang ketika Indonesia sedang berusaha mengejar ketertinggalan produktivitas pekerjanya.
Sejak kemunculan Keynesianism, ekonom mainstream sepakat bahwa intervensi pemerintah sangat penting di masa krisis.
Pengalaman krisis moneter 1998 memberikan modal makroprudensial yang sangat baik.
Namun, ada beberapa tantangan dalam perekonomian Indonesia yang harus diperhatikan.
Kita akan bahas satu persatu mulai dari sisi moneter, fiskal, dan keseimbangan eksternal.
Dari krisis moneter 1998, kita belajar bahwa stabilitas moneter sangat penting:
Indonesia berada di posisi yang baik karena tingkat suku bunga relatif tinggi dibandingkan negara lain.
Teorinya, dengan menurunkan suku bunga acuan, sektor perbankan akan ikut menurunkan bunga lending rate dan borrowing rate.
Suku bunga yang rendah akan menstimulasi konsumsi dan investasi langsung.
Ruang untuk sedikit inflasi masih ada karena saat ini inflasi terkendali.
Namun apakah sektor perbankan akan mengikuti?
Tingginya suku bunga dalam negeri dan rendahnya tingkat suku bunga di negara maju membuat pasar kredit internasional tampak menarik.
debt service dan pembayaran equity membebani net primary income
Akibatnya, tanpa didukung ekspor dan foreign investment flow, neraca pembayaran menjadi defisit.
Awal tahun 2010an merupakan double hit (Basri 2017):
BI membiarkan rupiah terkoreksi ke teritori 14.000 rupiah per dolar.
Para peminjam dolar berhadapan dengan pengembalian utang yang mahal (interest parity)
Pengalaman krismon 1998 memberikan efek traumatis bagi pengambil kebijakan khususnya moneter.
Kesulitan ekspor berakibat pada keinginan kuat pemerintah untuk menekan impor.
Problemnya, Indonesia banyak mengimpor bahan pangan, bahan baku, bahan penolong dan barang modal.
Jika Indonesia ingin ekspor manufakturnya kompetitif, maka terlibat dalam Global Value Chain (GVC) adalah suatu keharusan.
Pemerintah harus berhati-hati dalam melakukan pembatasan perdagangan, yang berpotensi memiliki dampak buruk terhadap ekonomi terutama di era GVC.
Dengan kata lain, Indonesia mengalami permasalahan keseimbangan eksternal karena sangat tergantung dengan kondisi ekonomi dunia.
Iklim bisnis yang kurang baik mengakibatkan pembiayaan modal domestik yang mahal, sehingga memanfaatkan utang luar negeri.
BI menjaga nilai cadangan devisa sehingga membatasi intervensi pasar uang.
Akibatnya pemerintah merasa perlu mengintervensi melalui pembatasan impor.
Padahal impor adalah konsekuensi dari tingginya investasi asing.
Pandemi COVID-19 memukul impor dan meningkatkan ekspor.
Ekspor dapat menjadi pilihan untuk kembali pulih dari resesi:
Pemerintah berniat membatasi ekspor komoditas demi nilai tambah dalam negeri.
Selengkapnya tentang peluang pemulihan ekspor dapat dilihat di sini
Stimulus fiskal untuk mendorong konsumsi masyarakat sangat diperlukan:
Sayangnya, pendapatan negara masih jauh dari ideal.
Pemerintah sukses menghapus subsidi energi dan menggenjot infrastruktur tanpa pajak dan utang.
turunnya harga energi sejak akhir ledakan harga komoditas sangat menolong.
Tetapi kuncinya adalah mengoper penerbitan bonds dari Pemerintah ke BUMN.
Hal ini membebani balance sheet BUMN seperti Pertamina, PLN, dan konstruksi (Triggs et al 2019).
Jika hitung-hitungan proyeknya tidak tepat, utang bisa jadi keburu jatuh tempo sebelum return memadai.
Solusi terbaik tentu saja adalah BUMN yang lebih efisien.
Namun jika solusinya adalah penyertaan modal, maka hal ini akan kembali berakibat ke pembebanan APBN.
Meningkatkan penerimaan negara menjadi semakin penting.
Namun pandemi memberikan tantangan yang sulit:
Dengan level utang saat ini, Pemerintah masih memiliki ruang.
Namun ke depan, Pemerintah harus lebih agresif dalam melakukan reformasi fiskal.
Pandemi membuka masalah yang selama ini dormant:
Indonesia berada di posisi yang relatif baik (tingkat suku bunga, tingkat utang dan defisit, inflasi)
Solusinya? Saya serahkan ke teman-teman UNS! (bisa jadi judul thesis lho!)
Basri, M. Chatib. 2017. “India and Indonesia: Lessons Learned from the 2013 Taper Tantrum.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 53 (2): 137-160. https://doi.org/10.1080/00074918.2017.1392922. https://doi.org/10.1080/00074918.2017.1392922.
OECD (2021), OECD Economic Surveys: Indonesia 2021, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/fd7e6249-en.
Rosengard, Jay K., and A. Prasetyantoko. 2011. “If the Banks are Doing So Well, Why Can’t I Get a Loan? Regulatory Constraints to Financial Inclusion in Indonesia.” Asian Economic Policy Review 6 (2): 273-296. https://doi.org/10.1111/j.1748-3131.2011.01205.x.
Triggs, Adam, Febrio Kacaribu, and Jiao Wang. 2019. “Risks, Resilience, and Reforms: Indonesia’s Financial System in 2019.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 55 (1): 1-27. https://doi.org/10.1080/00074918.2019.1592644.