Benarkah Memiliki Anak Berpotensi Merugikan Perempuan? Perspektif Ekonomi

Baru-baru ini cwider lagi rame gara-gara ada dokter yang ngetwit tentang dampak negatif menyusui terhadap si ibu.

Trit tersebut langsung ramai, opkors banyak pro asi yang tida terima. Beberapa netijen lain mengambil sudut pandang netral, bahwa fakta ya fakta, tidak perlu dibikin baper. Ada juga yang bikin twit tandingan, misalnya ini

Mengikuti twit tersebut seru, karena banyak rujukannya. Sayangnya perdebatannya tidak benar-benar 2 arah, dan secara praktis berhenti di situ, sejauh yang saya amati.

Meski saya gak ngerti soal ASI, perdebatan tersebut lumayan mencuri perhatian saya. Saya dengan si dokter bahwa membesarkan anak adalah sebuah kegiatan yang lumayan menuntut banyak perhatian, waktu, dan biaya, dan bagi saya, yang sebagian besar dibebankan pada wanita. Udah mual-mual, harus membawa-bawa anaknya selama 9 bulan, uda gitu proses melahirkannya meregang nyawa pula. Setelah melahirkan, ASI hanya diproduksi oleh ibunya, belum lagi bentuk tubuh yang berubah. Saya gak tau rasanya, tapi kalo saya harus mengalami itu semua kayaknya kagak deh.

Perbedaan ini ternyata tidak hanya berhenti di hal biologis, tapi juga soal duit. Kita beruntung lahir di zaman yang lebih progresif, di mana keseimbangan gaji antara lelaki dan perempuan. Menurut Kleven dkk (pdf), gender pay gap sudah lama menyempit berkat pendidikan dan anti diskriminasi gender, perbedaan tersebut tidak hilang 100%. Bahkan, gap upah pria dan wanita berhenti di sekitar 15-20an%. Kleven dkk menawarkan penjelasan: penyebabnya adalah anak. Setidaknya di Denmark.

Kleven dkk melakukan studinya terhadap penduduk Denmark dari tahun 1980 sampai 2013. Studi mereka jatohnya kayak semacem Diff-and-Diff gitu, di mana kontrolnya adalah pasangan yang tidak(/belum) punya anak. Robustness checknya pake placebo birth gitu, dan pake IV dengan anak kembar dan gender mix sebagai instrumen. Metodenya lumayan menarik, dan bisa dilakukan berkat data kependudukan Denmark yang kaya. Variabel dependen mereka adalah wage rate, labor participation, dan working hour.

Tapi di blog kali ini saya cuma akan bahas hasilnya aja yaa. wkwk.

Kata mereka, di Denmark, upah pria dan wanita mengalami tren yang sama, dan gak beda ketika pendidikan dikontrol. Namun, ketika punya anak pertama, gaji cowok masih naik dengan stabil, tapi gaji cewek stagnan cenderung berkurang. Ini terjadi pada ke-3 indikator upah mereka. Mereka juga bilang bahwa penyebab non-anak sudah berkurang jauh, namun penyebab anak malah naik, sehingga mengakibatkan perbedaan 20an% itu yang gak turun-turun.

Saya kutipkan apa yang menurut mereka dua kesimpulan paling penting:

First, the inclusion of education controls has only a small impact on the estimation of child-related gender inequality. It is still the case that child-related inequality is close to 80% of total inequality at the end of the period…

…Second, while the child-related gender gap has been growing over time, the education-related gender gap has been shrinking dramatically. Education related inequality was almost as large as child-related inequality at the beginning of the period, but has almost disappeared over time.

…yang mana intinya, sekolah bukan lagi penyebab bedanya pemasukan ekonomi lelaki dan wanita, bahkan cenderung hilang. Sementara itu, efek anak (secara teknis mereka menyebutnya “child penalty") terus naik seiring waktu.

Ingat bahwa ini adalah studi tentang Denmark. Seperti kita ketahui, Denmark termasuk negara yang sangat jor-joran mempromosikan gender equal pay dan gender equal opportunity. Bahkan soal anak pun, hal-hal kayak cuti dan bantuan pemerintah sudah sangat pro keluarga. Tapi perbedaan tersebut tetap ada, dan sepertinya memang sulit dihilangkan 100%.

Untuk konteks non-Denmark, ada Hupkau dan Leturcq (2017) yang studinya di Inggris. Pernah liat juga yang di negara Balkan tapi agak lupa siapa yang nulis. Juga ada laporan dari biro sensus Amerika Serikat yang berkesimpulan sama. Tapi Kleven dkk masukin grafik gender pay gap secara internasional, yang lebih kurang memang stuck di 20an persen. Ada di papernya silakan dilihat.

Memiliki anak memang sepertinya membebani perempuan lebih daripada lelaki. Soal gaji pun demikian, bahkan di negara yang sangat progresif dan pemerintahnya bener-bener aktif di isu gender pay gap. Apalagi di negara yang pemerintahnya males yak.

Tulisan ini bukan ingin menyuruh perempuan untuk berhenti beranak, apalagi bilang bahwa asi adalah akal-akalan lelaki untuk punya gaji lebih tinggi dari perempuan. Punya anak dan mendidiknya adalah hak setiap perempuan. Meskipun punya anak itu repot dan menyita banyak sumber daya, namun kebahagiaan yang diberikan anak untuk orang tuanya mungkin sepadan. Tentu tidak ada salahnya bagi para perempuan (dan lelaki) untuk mempunyai informasi lebih tentang apa yang harus dipikirkan ketika mengambil keputusan sepenting memiliki anak. Keputusan ini sangat besar dan memiliki efek jangka panjang yang tidak kecil, baik untuk individu maupun masyarakat.

Saya juga mengajak para suami untuk menyadari betapa besarnya pengorbanan istrinya ketika sang istri memutuskan untuk memiliki anak. Bantulah ia memikul beban tersebut. Kalo ngidam apa, beliin lah. Pikullah tanggung jawab non biologis lebih banyak ketimbang waktu istrinya belum hamil. Gantian jaga, ngurusin popok, dan lain sebagainya. Ingat, lelaki gak akan bisa gantiin hamil atau menyusui, jadi minimai gantiin di hal lain yak. Hidup #takutbini !!

Buat lelaki yang gak bertanggung jawab setelah menghamili seorang perempuan: go to fucking hell

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Universitas Indonesia. Mitra senior di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait